Thursday, October 13, 2005

Si Mahmud Kecil



Seribu tangan menampiknya
Di bawah hujan, ia menangis tertahan
Sementara tiada kasih membelainya
Di pojokan terminal kota mati
Si Mahmud kecil, pemilik mata nan merana

Berlari, tuk melawan takdir
Berdiri, tuk terjungkal kembali
Merayap, tuk gapai sesuap nasi
Padahal jalan masih panjang
Yang mengantar sengsara,
Di ujung gang buntu bernama kehidupan

Apakah hendak dikutuk?
Adakah orang tuanya yang membuangnya
Di tong sampah, itulah tempat buaian
Adakah tangan-tangan dingin yang merenggutnya
Ke dalam kerasnya kerikil jalanan
Adakah Tuhan yang menciptanya
Lalu menaruhnya dalam bara derita
Sementara setiap orang berdiam membisu
Tiada jawab yang sampai padanya
Semua sibuk dengan urusannya masing-masing

Si Mahmud kecil, pemilik mata nan merana
Mata permata yang meredup akan cinta
Tertatih sendiri, menyusuri selokan
Menanti harap,
Sedang harap mungkin khianat

Jakarta, 11 Agustus 2005
Maafkan aku, ya saudaraku...yang hanya mampu berpuisi untukmu

2 comments:

Anonymous said...

hiks..picnya bikin :((
<< yang belum bisa berbuat apa2

Pecinta Syair said...

Mungkin sekarang kita masih terduduk diam
Lihat kenyataaan memilukan
Tapi suatu hari nanti,
Saat sayap-sayap kita berkembang
Saatnya kita menghembuskan angin perubahan
Sekarang, semuanya masih berkabut
Jalan panjang itu masih menanti