Monday, August 07, 2006

Tentang Derita

Jangan pernah bicara padaku
Tentang arti derita
Jikalau tidak dalam satu waktumu
Kau menggigit lidahmu keras, sampai kebas
Tuk menetak rasa sesak
Tuk menolak merintih pada pedih

Kau ingin menangis, tapi tak bisa
Kau berdoa untuk menangis, tetap tak bisa
Air mata lama telah kau buang,
Agar roda terus berjalan dan bertahan
Kini, kau ingin memanggilnya
Untuk tahu bahwa kau masih manusia
Tapi yang tersisa darimu hanyalah –
Hatimu yang dingin membeku
Dan gurun luas tanpa batas

Tak ada apapun
Tak ada siapapun
Tak pernah merasa kehilangan
Karena tak jua pernah memiliki
Dan dunia hanyalah cawan kosong belaka

Dan kehidupan menorehkan dendam
Untuk siapa, dan untuk mengapa
Kau mungkin takkan pernah tahu
Saat resah berubah jadi amarah
Saat lara tanpa lembut belaian
Hingga tak banyak yang tersisa
Hanya kepingan kerikil hampa

Waktu mencarutkan luka sembilu
Tiada tersapu, oleh senyum palsu

Dalam satu waktumu yang itu
Tak seorangpun menginginkanmu
Sebab tak seorangpun memahamimu
Tak ada! kecuali egomu yang membatu
Saat memohon tolong; engkau dibokong
Oleh mereka yang menetap dekat
Oleh mereka yang mengaku sahabat
Dengan pedang kata, menghujam sangat
Hinaan demi hinaan mesti kau kerat
Tiap detik tak jua berhenti, berlalu begitu lambat
Dan kau bertanya sebab apa semua derita ini
Dan kau bertanya mengapa engkau terlahir berbeda
Dan kau bertanya tentang maut yang tak jua mau menjemput
Dan kau bertanya tentang arti hidup dan keberadaanmu
Dan kau bertanya benarkah ada akhir bahagia
Tak banyak jawab, hanya rasa sakit yang menusuk tetap
Tak banyak jawab, dan kau mesti terus bertahan tetap
Meski dunia dalam gulita, tak pula ada cahya

Sementara itu, semua orang menjadi hakim
Dan kau tertuduh, di antara serigala lapar
Kecuali kau, semua merasa benar
Tanpa pernah sekalipun mereka bertanya
Tak sekalipun mereka coba bertanya....!

Sepi di antara keramaian
Sepi yang tak bisa hilang

Kau bawa rintihmu selalu
Untuk disimpan lalu

Jangan, jangan pernah bicara padaku
Tentang arti derita,
Jikalau hidupmu bertabur semburat,
Berbantal senyum, berselimut kasih
Tak satu waktumu kau mengalami derita sesungguhnya

Tapi, siapalah aku bicara padamu
Tentang arti penderitaan
Sebab aku bukanlah –
Bukanlah Ayyub dalam kisah abadi
Yang dimuliakan Tuhan oleh ujian
Untuk melawan derita dalam sendiri
Demi iman sebagai penghujung jalan

Bukan pula Nuh, bahtera nan berlayar
Diabaikan sanak saudara, demi keagungan taqwa
Menjelajah negeri, mencari ridha-Nya
Tanpa pernah berkeluh kesah,
Dalam waktu yang ratusan tahun
Tahun-tahun panjang di mana darah dicucurkan
Ia membangun kerajaan di atas perahu dan karang
Menempuh bahaya, melintasi samudera

Bukan, bukan pula Muhammad,
Sang risalah utama yang berjalan
Olehnya, umat mengenal selamat
Bahwa ia dilempar batu dan berdarah,
Bahwa ia terusir dari kampung halaman,
Bahwa ia diludahi lalu dicaci maki
Itulah harga yang mesti dibayar
Untuk keyakinan termaktub di dalam dada
Untuk kemenangan hakiki nan abadi

Mereka, mereka mengenal derita sesungguhnya
Untuk apa derita, untuk siapa diperuntukkan
Jalan yang menanjak, berbatu, dan tajam
Mereka lalui dengan ta’bah, tak sekalipun menyerah
Tak sekalipun menyerah; Namun selalu berserah pasrah

Maka,
Jika nestapa ialah tangga;
Kan kudaki sampai ujungnya.


Jakarta, 17 Juni 2006

Nb : take 2 months to complete the poem

2 comments:

Anonymous said...

Jika nestapa adalah tangga;
kuharap;
bahagia;
adalah ujungnya...
...

Pecinta Syair said...

Akhir yang sejati,
Hanyalah mati...
Dan siapa tahu ada bahagia --
Di baliknya.